Antara Kita dan Para Kekasih-Nya

Menjadi orang biasa adalah sebuah kemerdekaan —kebebasan— tanpa ada sehelai pun kebanggaan yang melekat dan menjadi beban, karena kemuliaan adalah milik mereka yang telah diangkat Allah pada derajat yang tinggi oleh sebab keutamaan yang dimilikinya dalam hal-hal tertentu yang menjadi kelebihannya berupa keilmuan, keimanan, ketaatan, kebersihan hati, kesucian jiwa, kesabaran, keikhlasan, dan kerendahan hati, serta amalan-amalan ibadah, tidak hanya pada perkara yang wajib, namun juga pada perkara yang sunnah, yakni sunnah-sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam.

Image by Konevi from Pixabay

Mereka punya tugas yang tidak ringan, sebagai yang terlahir dari rahim ujian dan cobaan yang begitu besar, lebih besar dari kita semua, harus memiliki output yang besar agar terjadi keseimbangan. Output itu tidak hanya berwujud lahiriah atau sesuatu yang tampak pada manusia, namun sesuatu yang mungkin saja tidak terlihat, namun akan terasa di alam sekitarnya dalam bentuk pancaran-pancaran. Mereka adalah “guru-guru” kita yang mengajarkan al-hikmah, atau siapa pun mereka (atau mungkin anda) yang hatinya “bening” sehingga selaksa keimanan itu memantul dari dirinya dengan indahnya. Tugas mereka berat untuk dipikul orang biasa, apalagi saya, maka “berbahagialah” menjadi orang biasa meski senantiasa masih bergelut dengan lumpur dunia, mencari pijakan tanah untuk keluar dari kubangan, dan menggapai apapun yang bisa dipegang dan bertumpu dengannnya. Orang biasa yang masih berproses dalam rahim ujian sesungguhnya sedang dibentuk oleh Allah untuk menjadi insan kamil yang kelak terbebas dari syahwa-syahwat buruk dunia, kepentingan-kepentingan pribadi, yang hatinya sehat dan bersih dari penyakit-penyakit yang menjangkitinya, yang ringan langkahnya dalam ketaatan dan berat langkahnya, sangat berat, untuk melakukan kemaksiatan.

Mereka yang tidak lagi peduli pada perkataan manusia yang merendahkan atau memujinya, pada rezeki: besar dan kecilnya, pada ukuran-ukuran yang dibuat oleh manusia, tidak memperhatikan pada hal yang bersifat dzahirnya, tidak terperangkap dalam ruang-ruang bentuk dan ukuran (materi/fisik), melainkan mereka adalah hamba-hamba yang meski kakinya di dunia, namun hati dan kesadarannya bersama Allah subhana wa ta’ala. Tindak tanduknya adalah pantulan dari cahaya keimanan, berasal dari besarnya rasa cinta pada Yang Menjaga dan Melindungi, Dia yang besar melebihi segala yang ditakuti, dicemasi, ditangisi. Cukup hanya Allah, perhatian dari-Nya yang mereka cari. Tenggelam dan larut dalam lautan ingatan pada-Nya. "Allah… Allah… Allah..", tidak henti nadi mereka berdenyut mengucap asma-Nya. Sungguh kenikmatan terbesar adalah bisa memandang wajah-Nya, berada di dekat-Nya, di bawah arasy-Nya. Allah ridho pada mereka dan mereka pun ridho pada apa yang diberikan Allah pada mereka, meski harus masuk ke dalam lubang jarum sekalipun. Rasa cinta yang besar, tak lagi peduli pada rasa sakit, pada rindu yang mencekik. Mereka bukan lagi orang yang berusaha menyelami lautan cinta-Nya, akan tetapi mereka sudah hidup dan tenggelam di dalamnya.

Maka, pantaskah kita sebagai orang biasa mengeluh dengan keluh kesah pada resah yang diberikan Allah? Padahal itu belumlah seberapa dibandingkan ujiannya para kekasih Allah, dan itulah cara Allah menyuntikkan apa yang selalu kita minta didekatkan dan dimasukkan ke dalam taman-taman firdaus-Nya. Didahului dengan terpanggangnya kita di atas bara untuk membersihkan sekaligus menguji kita layakkah diri kita mendapatkan karunia-Nya yang besar. Pantaskah doa-doa kita dikabulkan-Nya? Pantaskah kita menjadi hamba-Nya yang dimasukkan ke dalam surga-Nya? Padahal kita belum diuji perihal keimanan kita pada-Nya. Sebab iman yang bernyali tidak akan lari dari ujian-Nya, ia akan menyongsongnya, menjemputnya sebagai tanda perhatian Tuhan padanya. Bila benar kita telah beriman, iman itu akan membangkitkan ghirrah untuk mengejar perhatian Tuhannya, seraya tidak akan memalingkan wajahnya dari sang “wajah” yang menghidupkannya, mematikannya, dan memberinya rezeki. Berpasrah, menyerahkan dirinya, menyandarkan semua urusan pada-Nya sebagai seorang muslim.

Wallahu A’lam