Berbahagialah Bila Kamu Dapat Mencintai-Nya

 

Hidup tak melulu soal cinta, tapi agama ini kata Ibnu Arabi adalah agama cinta. Tak sempurna iman tanpa adanya cinta, dan tak ada cinta kepada Allah tanpa adanya cinta kepada kekasih-Nya (Muhammad Rasulullah SAW). Ada dua rasa yang meliputi seorang hamba kepada Rabb-Nya. Rasa takut dan cinta. Keduanya bisa berkumpul dalam satu hati, atau saling mendominasi antara rasa takut atau cinta. Rasa takut seorang hamba kepada Allah sangatlah baik karena belum tentu kita punya rasa tersebut saat beribadah kepada-Nya. Dan tidak ada yang lebih takut kepada Allah diantara kita selain para Ulama, mereka takut kepada Allah karena ilmunya. Rasa takut menimbulkan ketaatan, semakin takut akan semakin taat. Apakah kita sudah punya rasa takut tersebut saat berdiri di hadapan-Nya tatkala Shalat ? seakan-akan kita di dalam situasi bahaya mencekam luar biasa, dan kita berdiri di hadapan-Nya memohon pertolongan-Nya seakan-akan Dia melihat kita sebab kemana pun arah wajah kita disitulah wajah-Nya (Dia Maha Melihat).

Hamba yang merdeka, bebas, ialah mereka yang menjadikannya ibadahnya sebagai rasa syukur dan cinta kepada-Nya, jadi ibadah mereka tidak hanya sebatas memenuhi kewajiban atau demi menghindarikan diri dari siksa Allah. Sampai-sampai seorang Sufi bernama Rabi’ah Al Adawiyah pernah berucap dalam munajatnya, jika ia beribadah hanya karena takut pada neraka, maka masukkan ia ke dalamnya. Meski, ucapan tersebut akhirnya menjadi polemik karena banyak yang menyimpulkan Rabi’ah tidak takut pada neraka.

Keunggulan dari sifat cinta jika diaplikasikan dalam ibadah, maka akan menambah kuantitas dan kualitas ibadah tersebut, tanpa ada rasa lelah atau merasa kecewa tatkala doa tak terjawab, tatkala kehendak tak terkabul, karena ketika beribadah bukan karena adanya rasa pamrih meminta sesuatu, mengharapkan sesuatu, tapi karena adanya rasa cinta kepada ibadah itu sendiri. Hanya dengan ibadah, mereka sampaikan isi hati. Dalam ibadah, mereka bermunajat, merasakan indahnya saat berdoa, merasakan nikmatnya membaca ayat-ayat-Nya. Menjadikan seluruh geraknya sebagai dzikir, mata dan telinganya hanya dipergunakan untuk hal-hal yang disenangi Tuhannya. Apa yang dikerjakan selalu berorientasi pada-Nya, dan menjadikan apapun hasilnya untuk Allah. Dia akan melakukan yang terbaik pada apapun pekerjaan sebab pekerjaanya itu untuk Allah (lillahi ta’ala). Bila segalanya adalah karena Allah dan untuk Allah, maka tak akan ada kekecawaan pada hasilnya karena itu adalah kehendak-Nya, dia menyenangi apapun kehendak Allah kepadanya (ikhlas dan ridho) karena dia mencinta Allah. Inilah kesejatian cinta, cinta yang besar, hingga rasa senang dan takutnya adalah untuk-Nya tanpa melihat pada dirinya (sebagai objek) tapi hanya kepada-Nya lah saja.

Cinta yang sebenar-benarnya cinta, hampir menyamai kegilaan, mabuk karena cinta. Akan muncul banyak ‘kegilaan’ karena menyenangi sesuatu secara berlebihan, tentu kita bisa melihatnya bahkan bisa merasakan sendiri bagaimana bila hati kita merasakan cinta itu, diam-diam. Kegilaan bukan berarti hilang akal, namun disebut “gila” karena tidak bernalar (logika) atau diluar mainstream. Berapa banyak kesedihan yang berujung kematian, bunuh diri karena melihat, seseorang yang dicintanya itu meninggal ? berapa banyak kita melihat karya yang luar biasa hasil dari ekspresi cinta pada sesuatu ? berapa banyak dari kita yang pernah mendengar seseorang mengakhiri hidup kekasihnya dengan membunuhnya ketika ia tahu kekasihnya itu akan meninggalkan dirinya ? berapa banyak orang yang sakit karena dilanda rasa rindu pada seseorang dan seketika sembuh saat orang yang dirindukannya itu ada disampingnya ? itu semua adalah kegilaan-kegilaan karena rasa cinta yang ‘keterlaluan’, bagaimana tubuh kita benar-benar bereaksi terhadap perasaan cinta.

Diantara semua bentuk cinta, tak ada cinta yang sempurna karena hati dimana ada cinta di dalamnya adalah hati mausia biasa yang jelas tidak sempurna. Cinta manusia kepada manusia lainnya pun tidak sejati, kalau sejati diartikan sebagai cinta yang benar atau cinta yang tetap ada tanpa terpengaruh ruang dan waktu, nyatanya cinta itu juga amat terbatas. Yang tidak terbatas adalah Tuhan maka cinta yang sempurna dan sejati hanya milik-Nya. Selayaknya hati kita diisi penuh dengan cinta kepada-Nya, dan menempatkan manusia ada diurutan kesekian dari prioritas cinta yang ada di hati kita.

Apakah dengan demikian maka kita tidak boleh mencintai manusia ? cinta adalah perasaan yang sudah onboard semenjak lahir, sebagai hiasan, kesenangan yang Allah berikan ke dalam hati manusia, bawaan yang mengalir pada urat nadi, siapa pun yang memiliki nyawa di tubuhnya, pasti akan ada rasa di dalam hatinya sesuatu yang dicintai sadar atau tidak sadar. Namun cinta, bukan tamu yang datang tiba-tiba tanpa diundang, bukan rasa yang ujug-ujug datang sendirinya tanpa sebab. Dan biasanya secara umum, cinta diawali dari rasa suka pada sesuatu yang disukainya. Bila rasa suka itu tumbuh jadi cinta, disinilah musim akan berubah. Timbul ketergantungan, dan kebutuhan. Maka jika sudah timbul cinta, jangan dikubur, hilangkan saja ranting-ranting liarnya, pangkas duri-durinya. Ekspresikan cinta itu dengan benar, ungkapkan dengan bahasamu, sikapmu, tulislah, atau tiupkan “ruh” cinta itu sebagai sumber inspirasi dan kreatifitas dalam melakukan sesuatu. Kita tidak dilarang mengekspresikan cinta baik tulisan, lirik, cerita, atau apa pun asal tak berlebihan, menjadikan cinta sebagai sarana menjadikan diri penuh dengan rasa kasih dan sayang, namun yang tidak diperbolehkan adalah ketika mengekspresikannya dengan ucapan dan perbuatan yang mendekati pada kemurkaan Allah, yaitu pada apa yang jelas dilarangnya.

Untuk cinta yang berobjek lawan jenis. Menikahlah dengan orang yang kamu cintai, jika tidak tunggulah hingga datang kepadamu seseorang: yang kamu cinta kepadanya, atau Allah memilihnya untuk kamu cintai. Jika kamu tidak ingin terjatuh dalam lubang derita karena cinta pada masa-masa kamu tumbuh dalam usia, jangan melihat pada cinta, jangan rindukan diri pada api-api cinta yang menari di hadapanmu, jangan mudah tergoda pada sesosok makhluk yang terbungkus dalam rupa, dan untuk wanita bila datang padamu seorang pria yang menghunuskan ‘cinta’nya dengan kata-kata, suruhlah dia menghadap ibu-bapak-mu yang sudah membesarkanmu dengan sepenuh cinta agar ia tahu harus seberapa besar cinta yang harus dipersiapkannya kepadamu untuk dapat memilikimu bukan hanya sekedar kata-kata, sebait dua bait puisi, atau nyanyian-nyanyian yang ‘memabukkan’.

Disinilah pentingnya, Rasulullah SAW menyuruh kita mencintai Allah dan Rasul-Nya di prioritas utama, dan cinta-cinta lainnya di urutan selanjutnya. Sebab cinta itu memang sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Hidup memang tak selalu harus bicara soal cinta, tapi sekarang, bagaimana jika Allah yang menjadi objek dari rasa cinta di hatimu ? berbahagaialah jika kamu dapat merasakan itu.