Paska Erupsi, Bagaimana Kondisi Gunung Anak Krakatau kini?

Melalui hasil tangkapan kamera drone, James Reynolds melalui akun twitternya @EarthUncutTV mempublikasikan sejumlah foto dan video terkait penampakan Gunung Anak Krakatau. Tampak jelas bahwa kini Gunung Anak Krakatau memiliki tinggi dan luas yang sangat jauh berkurang dari sebelumnya. Bahkan pepohonan yang dahulu menghampar di sebelah sisi pulau sudah menghilang. Air laut di sekitar Gunung Anak Krakatau tampak berwarna orange kecoklatan karena bercampur dengan hidrosida besi (FeOH3) yang mengalir keluar dari kawah.

twitter.com/earthuncuttv
twitter.com/earthuncuttv
twitter.com/earthuncuttv




Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa usai proses rayapan tubuh dan erosi, Gunung Anak Krakatau kehilangan 150-170 juta m3 sehingga tinggi semula Gunung Anak Krakatau 338 mdpl (meter di atas permukaan laut), kini menjadi 110 mdpl. Diperkirakan 2/3 volume Gunung Anak Krakatau jatuh atau longsor ke laut.
Perubahan fisik gunung menyebabkan berubahnya tipe letusan Gunung Anak Krakatau dari tipe letusan Strombolian menjadi tipe letusan Surtseyan. Perbedaannya, saat Gunung Anak Krakatau meletus dengan tipe Strombolian, semburan lava pijar keluar seperti air mancur karena dapur magma yang dangkal, sementara dengan tipe letusan Surtseyan, lava keluar mengalir bersntuhan dengan air laut sehingga muncul hembusan uap.

Status Gunung Anak Krakatau menurut laporan kebencanaan Geologi yang dikeluarkan tanggal 12 Januari 2019 oleh PVMBG masih pada level III atau status Siaga, warga dilarang untuk mendekati Gunung Anak Krakatau dalam jarak 5 km dari kawah. Gunung Anak Krakatau juga mengalami 4 kali gempa Hembusan dan 1 kali gempa Tektonik Lokal, hal ini diketahui dari catatan seismograf tanggal 11 Januari 2019. Erupsi terakhir tercatat terjadi tanggal 8 Januari 2019 pukul 18:11 dengan ketinggian 1110 mdpl.

Melihat kondisi Gunung Anak Krakatau kini yang lebih landai dari sebelumnya membuat potensi terjadinya tsunami seperti yang terjadi pada 22 Desember 2018 semakin kecil, namun bukan berarti bahaya Tsunami itu tidak ada. Apalagi muncul retakan baru di salah satu sisi badan Gunung Anak Krakatau pada 2 Januari 2019 dan kondisi bawah laut yang curam. Jika terjadi longsor, maka sebanyak 67 juta kubik volume akan jatuh ke laut. Akibatnya bisa terjadi Tsunami, namun diperkirakan tidak akan sebesar Tsunami yang disebabkan oleh longsornya 90 juta kubik volume badan Gunung yang terjadi tiga pekan lalu tersebut.



A post shared by BMKG (@infobmkg) on


BMKG sudah melakukan upaya antisipasi jika terjadi bahaya Tsunami dengan memasang sensor pemantau gelombang dan iklim yang ditempatkan di Pulau Sebesi. Adanya sensor ini akan menjadi peringatan dini untuk masyarakat di sekitar pesisir agar bisa dievakuasi lebih awal sebelum terjadi bencana sehingga masyarakat tidak perlu panik dan jangan mudah percaya pada berita hoaks terkait adanya tsunami sebelum di cross check kebenarannya.

BNPB, dalam upaya mitigasi bencana, berencana akan mengembangkan hutan pantai terutama di zona merah bahaya gempa bumi dan tsunami. Beberapa jenis pohon yang akan ditanam adalah pohon yang mampu menjadi penahan alami dari gelombang tsunami, seperti pohon pule, ketapang, mahoni, waru, beringin dan kelapa. Diharapkan dengan adanya hutan pantai dapat mengurangi sifat destruktif tsunami saat menerjang daratan sehingga dapat mengurangi kerusakan bangunan dan jumlah korban.

Tentu saja kita berharap bahwa tsunami tidak terjadi lagi. Selain antisipasi dengan sistem peringatan dini dan upaya mitigasi, hal lain yang bisa kita lakukan adalah berdoa agar wilayah pesisir Lampung dan Banten dijaga dari segala musibah dan kembali menjaga lingkungan alam sekitar, serta menjaga perbuatan kita dari segala cela. Meskipun secara sains masalah kegempaan dan vulkanik tidak memiliki hubungan garis lurus dengan perbuatan manusia, namun sebagai umat beragama kita selalu percaya bahwa alam ini memiliki penciptanya yakni Allah, dan Allah lah yang mengatur alam ini. Dia berkehendak mengirimkan bencana melalui alam, menahannya, atau meniadakannya. Wallahu A'lam

Tetap waspada, ubahlah kepanikan dan rasa khawatir itu menjadi energi doa, dan jadikan peristiwa lalu sebagai pelajaran berharga untuk menjadikan kita sebagai insan yang lebih baik. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi kita. Aamiin.