Menguak Keteladanan Rasulullah


Masih dalam suasana Maulid Nabi SAW, bulan Rabiul Awwal, tak salahnya kami sedikit berbagi tulisan tentang Nabi Muhammad SAW untuk mentadabburi diri Rasulullah sebagai suri tauladan, tak hanya orang-orang Arab di Jazirah Arab dimana Rasulullah diutus, tapi juga untuk keseluruhan umat manusia.

Sumber gambar: Abdullah_Shakoor (Pixabay)

Tulisan ini kami ambil dari majalah Islam Sabili, bagian Tadabbur, edisi No. 26 TH. VIII 20 Juni 2001/ 28 Rabiul Awal 1422, ditulis oleh Dr. Muslih Abdul Karim, MA. Tujuan kami menyampaikan tulisan ini adalah untuk dijadikan bahan bacaan (tanpa kami edit, tambah, atau kurangi) sekaligus menyimak buah tulisan beliau yang saat itu sebagai Dosen Jurusan Tafsir Hadist, Program Pascasarjana IAIN Jakarta.

Tulisan dimulai dengan:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Empat belas abad yang silam Nabi Muhammad saw wafat. Tapi, namanya tetap semerbak, terukir abadi di dalam kitab suci Al-Qur’an dan tulisan para ilmuwan yang memfokuskan penelitiannya pada sejarah dan peradaban manusia. Sejarah kehidupannya yang jernih tak henti mengalir, memberikan kesejukan, mengobati dahaga sekaligus cermin bagi manusia sepanjang masa.

Apa rahasia besar di balik pesona keagungan perilaku Rasulullah saw tersebut? Ketika Ummul mu’minin, Aisyah ra ditanya tentang akhlak Nabi, ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Jawaban ini begitu simpel, tapi memiliki kandungan makna yang dalam. Al-Qur’an merupakan sumber nilai akhlak yang masih bersifat normatif, sedangkan aplikasi konkretnya dapat dilihat dari perilaku (sunnah) Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi perilaku Nabi, selain sebagai suri teladan (uswah hasanah) bagi umatnya, juga untuk memperjelas (bayan) isi kandungan Al-Qur’an sehingga dapat disosialisasikan oleh umatnya dengan baik dan mudah.

Ada sejumlah alasan mengapa perilaku Rasulullah saw harus dijadikan sebagai uswah hasanah oleh umatnya. Pertama, beliau adalah seorang rasul yang risalahnya merupakan rahmat bagi alam semesta. Kedudukannya sangat berbeda dengan para nabi dan rasul sebelumnya yang diutus Allah secara khusus kepada sebuah bangsa, di wilayah dan kurun waktu yang sangat terbatas. Sedangkan risalah yang dibawa Rasulullah saw bersifat universal untuk seluruh manusia di seluruh penjuru bumi hingga kehidupan di alam ini berakhir. Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa: 107).

Kedua, beliau memiliki akhlak yang agung. Setiap ucap dan langkahnya mengandung kearifan karena selalu mendapat bimbingan wahyu. Tak heran, kalau beliau terjaga dari kesalahan yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang utusan Allah. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki budi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Kedua alasan ini dapat dijadikan dasar untuk mensuriteladani segala perilakunya. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Ahzab: 21)

Ayat tersebut secara tersurat menunjukkan bahwa rahmat Allah dan kebahagiaan di akhirat dapat diperoleh melalui uswah hasanah perilaku Nabi. Dalam berbagai tafsir, uswah diartikan dengan qudwah (model), sedangkan hasanah berarti baik. Jadi, uswah hasanah adalah suatu model terbaik yang dapat dijadikan sebagai suri teladan. Seluruh perilaku kehidupan Nabi dapat menjadi uswah hasanah bagi umatnya.

Secara garis besar, paling tidak ada tiga aspek keteladanan Rasulullah saw yang dapat diungkapkan dalam tulisan ini. Pertama, aspek kehidupan keluarga. Para penulis sejarah dari berbagai kalangan mencatat, Muhammad saw bukan hanya kepala negara yang gemilang, tapi juga kepala keluarga yang mengagumkan.

Ini sangat luar biasa. Bukankah begitu banyak konglomerat, birokrat, politisi dan penguasa yang sukses menorehkan nama besarnya, namun tak mampu membentuk suasana sakinah di dalam rumah tangganya. Fenomena ini berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi, meskipun beliau seorang pemimpin umat yang mendunia, namun perilakunya mampu memberi cinta kasih, ketenangan, dan keadilan pada istri-istri dan anak-anaknya. Tak satu pun riwayat yang menunjukkan kelalaian beliau terhadap keluarganya.

Kedua, aspek dakwah. Dakwah Nabi saw berupa ajakan atau himbauan untuk berperilaku yang ma’ruf sesuai dengan ajaran Allah dan larangan untuk berbuat yang mungkar dan maksiat. Isi dakwahnya selain sesuai dengan fitrah manusia (human nature) yang dapat melahirkan ketertiban dan kedamaian umat, juga mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban umat. Teknik dakwah pada mulanya dilakukan dengan pendekatan persuasif, yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Prioritas pertama diberikan kepada keluarganya.

Allah SWT berfirman, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang beriman. Jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah ‘Sesungguhnya aku tak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian kerjakan,’” (QS. Asy-Syu’araa: 216)

Setelah kondisi memungkinkan beliau melakukan dakwah secara terang-terangan. Cara ini ditempuh melalui ajakan secara terbuka, lawatan (hijrah) ke berbagai daerah, melakukan hubungan diplomatik melalui pengutusan delegasi atau pengiriman surat ke sejumlah raja. Baru jika terpaksa beliau menempuh kebijakan perang.

Perang merupakan jalan terakhir dari serangkaian dakwah. Di dalamnya, beliau menetapkan kode etik. Misalnya, tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, manula, dan musuh yang menyerah. Bagi beliau perang sama sekali bukan penjajahan, melainkan lebih bermakna futuhat (pembukaan atau pembebasan).

Ketiga, aspek politik dan ketatanegaraan. Pengangkatan Nabi sebagai Kepala Negara di Madinah tidak semata-mata ketetapan atau dari hasil kampanye, melainkan karena perilaku beliau yang sejak kecil patut menjadi pemimpin. Hal ini dibuktikan ketika terjadi perebutan peletakan Hajar Aswad di Ka’bah. Beliau mendapatkan predikat al-amiin (terpercaya). Kharisma kejujuran dan kepemimpinannya itu disegani kawan maupun lawan.

Ketika negara Madinah telah berdaulat, beliau segera membuat Piagam Madinah, yaitu suatu undang-undang tata negara yang pertama kali ditulis dalam sejarah dunia. Isinya berkenaan dengan persatuan dan pembebasan umat dari kezaliman, pengakuan hak asasi manusia, persatuan seagama dengan berpijak pada prinsip mengakui hak orang lain, menentang kebatilan, melindungi yang lemah, setia kawan, teguh terhadap ajaran yang benar, dan segala perselisihan dikembalikan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, adanya toleransi beragama dan menghargai kebebasan minoritas, adil dalam memberlakukan hukum tanpa ada perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai perdamaian.

Keseluruhan perilaku politik dan kenegarawan Nabi di atas dapat dijadikan dasar untuk menepis segala tuduhan bahwa Islam mengajarkan terorisme. Banyak musuh Islam memandang sebelah mata dalam menilai keagungan perilaku politik beliau sehingga yang muncul dalam benak mereka hanyalah hukum qishash yang konon tidak manusiawi dan kepemimpinan yang militanisme. Padahal, jika dilihat secara integral, perilaku politik beliau sangat anggun dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Selesai..

Semoga kita bisa meneladani Nabi Muhammad SAW dari apa yang kita simak dari tulisan di atas, terutama akhlak beliau dan sikap politik beliau, menjadi pengikut sunnahnya, membawa ajaran mulianya masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita, sebab tidak ada yang mengambil keteladanan Rasulullah SAW selain orang yang mengharapkan rahmat Allah, meyakini akan adanya hari kiamat, dan senantiasa mengingat Allah dengan menyebut nama-Nya.

Wallahu a’lamu bish-Shawab