Membangun Keikhlasan

Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya. Setiap orang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia yang ingin ia dapatkan, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (HR Bukhari Muslim)

Photo by Reza Payandeh on Unsplash

Niat merupakan ruh-nya amal, jika niat itu baik maka amalnya akan menjadi baik, dan jika niat itu rusak maka amalnya akan menjadi rusak. Jika niat itu karena Allah dan Rasul-Nya meski apapun yang kita kerjakan (kecuali yang diharamkan), sekecil apapun yang kita lakukan, balasannya adalah mendapatkan amal tersebut di sisi Allah SWT disamping mendapatkan manfaat dari hasil yang kita kerjakan tersebut. Jika pekerjaan yang kita lakukan hanya semata-mata mengerjakan karena tanggung jawab pada pekerjaan atau sebatas pada rutinitas saja tanpa meniatkannya dalam kerangka ibadah, maka manfaat dari pekerjaan tersebut hanya sebatas pada hasil yang dicapai. Mengerjakan sesuatu karena sesuatu yang bersifat fana, maka manfaat dari hasilnya akan fana juga dan bila faktor pendorongnya hilang maka hilang pula keinginan untuk melakukannya.

Amal tak pernah lepas dari niat sehingga wujud dari amal itu apakah baik atau buruk, kuat atau lemah, diterima atau tidak, semua tergantung pada niatnya. Namun, amal tak bisa hanya berdiri di atas niat semata. Faktor diterimanya amal adalah keihlasan niat itu sendiri dan sesuai atau tidak dengan ketentuan agama jika berkenaan dengan ibadah, seperti shalat, zakat, haji, dan lain sebagainya. Bicara tentang niat yang ikhlas, bagaimana jika suatu hal yang dikerjakan diniatkan untuk Allah namun tak lepas adanya kepentingan lain. Misal, bersedekah kepada orang lain yang niatnya karena Allah namun dibarengi dengan adanya rasa iba; menikah yang niatnya untuk menyempurnakan agama dan ibadah karena Allah kemudian dibarengi dengan adanya kepentingan ingin membina rumah tangga, lepas dari masa lajang, dan hidup bersama dengan orang yang dicintainya dan memperoleh keturunan darinya; beritikaf di masjid yang tujuannya mendekatkan diri pada Allah namun dibarengi dengan adanya keinginan untuk menenangkan diri dari masalah di rumah ?

Menurut Imam al-Ghazali, jika kepentingan pribadi seimbang dengan niatnya karena Allah maka amalnya tidak mendatangkan manfaat apa-apa kecuali hasil dari yang dikerjakan. Jika amal yang dikerjakan mengandung unsur riya di dalamnya tanpa menghilangkan niatnya karena Allah dan unsur riyanya lebih dominan, maka orang tersebut akan mendapat siksa dari Allah karena unsur riya-nya namun tak sebesar siksa yang diberikan kepada mereka yang melakukannya tanpa niat karena Allah. Jika niatnya karena Allah lebih dominan, maka akan dibalas sesuai dengan kadar amalannya tersebut, hal ini seperti dinukil dari Surat Al-Zalzalah ayat 7 -8, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya juga”.

Berbeda dengan Imam al-Ghazali, Ibnu Rajab al-Hambali berpendapat jika suatu amalan disertai dengan adanya riya meskipun dibarengi dengan niat karena Allah maka pahalanya menjadi gugur. Hal ini sesuai dengan bunyi hadist “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal, kecuali diikhlaskan karena-Nya dan untuk mencari keridhaan-Nya.”

Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, niat ikhlas memiliki arti penting dari suatu amal atau aktivitas pekerjaan. Niat ikhlas pun bisa menjadi kunci ketenangan jiwa karena apa yang dikerjakannya memiliki kejelasan tujuan kepentingan dan satu arah pikiran, yakni karena Allah. Jika suatu pekerjaan diniatkan karena Allah, apapun hasilnya baik gagal maupun berhasil tidak akan mengeluarkannya dari ketaatan pada Allah. Tidak akan mengurangi semangat ibadahnya, atau berlebih-lebihan merayakan keberhasilannya. Semua itu apapun hasilnya dikembalikan kepada Allah.

Lalu bagaimana cara menanamkan keikhlasan dan mempertahankan niat ikhlas tersebut tanpa tercampur atau hilang sama sekali? tanamkan niat tersebut dengan berketatapan hati yang kuat, isi pengetahuan dengan pengetahuan-pengetahuan Qur’ani dan Sunnah Rasulullah SAW, menjauhi setiap perkara-perkara yang membuat hati jauh dari keduanya, dan sering-seringlah bermunajat bermohon pada Allah diberikan hati yang lurus, senantiasa diberi petunjuk, penerang, diisi dengan kebaikan-kebaikan, dan jalan kepahaman agar mudah menemukan keikhlasan tanpa adanya pendorong lain yang lahir dari adanya kepentingan berlandaskan hawa nafsu.

Semoga kita bisa berlaku ikhlas dalam setiap aktivitas dan pekerjaan yang kita lakukan terutama hal-hal yang berkenaan dengan ibadah agar keutamaan-keutamaannya tidak hilang karena hati yang tidak ikhlas.

Wallahu a’lam