Google Doodle Hari Ini: Peringatan Ulang Tahun Sariamin Ismail Ke-112 Tahun Sang Novelis Perempuan Pertama Indonesia


Google Doodle hari ini, 31 Juli 2021, menampilkan gambar yang diberi keterangan “Ulang Tahun Ke-112 Sariamin Ismail”. Siapakah Sariamin Ismail? Dilansir dari Wikipedia, Sariamin Ismail adalah penulis wanita Indonesia yang tercatat sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Lahir di Talu, Talamau, Pasaman Bara, Sumatera Barat pada tanggal 31 Juli 1909 dari pasangan Sari Uyah dan Lau. Sariamin Ismail anak kedua dari lima bersaudara.

Sebagai novelis, Sariamin Ismail kerap menggunakan nama samaran Selasih dan Seleguri, atau gabungan keduanya, yaitu Selasih Seleguri. Sariamin Ismail menulis novel pertamanya berjudul Kalau Tak Untung yang diterbitkan tahun 1934 oleh Balai Pustaka. Selain menulis novel, Sariamin Ismail juga menulis di sejumlah surat kabar, antara lain Pujangga Baru, Panji Pustaka, Asjarq, Sunting Melayu, dan Bintang Hindia, yang saat itu usianya baru 16 tahun.

Sariamin juga diketahui pernah menjadi anggota parlemen Provinsi Riau yang terpilih pada tahun 1947. Sebelumnya wanita yang terlahir dengan nama Basariah ini pindah ke Kuantan pada tahun 1941. Sariamin Ismail terus menulis di sisa umurnya hingga meninggal di Pekanbaru, Riau, 15 Desember 1995 dalam usia 86 tahun.

Sariamin Ismail beruntung karena sebagai anak seorang ambtenaar atau pegawai negeri Hindia Belanda beliau dapat mengenyam pendidikan di Sekolah Gubernemen hingga pada usia sepuluh tahun Sarimin Ismail telah mulai menulis syair dan puisi. Pada 1921, Sariamin Ismail berhasil lulus mengikuti ujian masuk sekolah guru perempuan Meisjes Normaal School (MNS) di Padang Panjang.

Selama berada dalam asrama, Sariamin Ismail menulis catatan harian dalam bentuk sajak di buku kecil yang ia namakan “Sahabatku”. Sariamin Ismail kerap mendapat hadiah dari ajang perlombaan menulis karangan prosa dan puisi di sekolahnya. Sajaknya yang berjudul “Orang Laut” dibacakan di setiap kelas oleh para guru. Karena sering mendapatkan hadiah, Sariamin tidak lagi diberi hadiah setiap kali memenangkan perlombaan. Sebagai gantinya, guru bahasa Indonesianya, Noer Marliah Moro membawa Sariamin Ismail berlibur ke Padang dan melihat laut. Hal ini menjadi hadiah paling istimewa bagi Sariamin Ismail yang belum pernah melihat laut meski ia mengarang sajak “Orang Laut”.

Setelah berhasil tamat dari pendidikan sekolah guru yang dijalaninya selama empat tahun, Sariamin mengajar di Meisjes Vervolg School (MVS) di Bengkulu. Pada tanggal 17 Juni 1925, Sariamin Ismail diangkat sebagai kepala sekolah MVS dan sejak itu mencatatkan kemajuan untuk sekolahnya dengan banyaknya muris selama setahun kepemimpinannya. Karena prestasinya itu, Sariamin Ismail kerap berpindah-pindah domisili mengikuti tugas mengajarnya sampai kemudian ia kembali ke Sumatera Barat mengepalai sekolah MVS di Matur pada 1926 dan di Lubuksikaping pada 1927.

Saat di Matur, Sariamin Ismail bertemu dengan guru bahasa Indonesia yang dulu mengajarnya di MNS, Noer Marliah Moro dan memberinya dorongan untuk mengirim karyanya ke surat kabar. Sariamin Ismail pun mengikuti saran dari gurunya tersebut dan mengirimkan karyanya dengan nama samaran Sri Gunung. Nama samaran ini tetap digunakan sewaktu di Lubuksikaping. Saat menjadi kepala sekolah di MVS Lubuksikaping, Sariamin Ismail mendapatkan masalah dengan schoolopzinener atau pemilik sekolah yang menyalahkan keputusannya karena membeli alat-alat dapur sekolah dengan uang pembeli bangku dan meja. Buntut dari masalah tersebut, setelah memenuhi panggilan dari inspektur di Bukittinggi, pada Mei 1928, Sariamin Ismail dipindahtugaskan mengajar di Bukttinggi dan pangkatnya diturunkan menjadi guru biasa di Meisjes Leer Schol (MLS), yaitu sebuah sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak murid MNS Padangpanjang yang gedungnya hancur akibat gempat bumi pada 1926.

Selama di Bukittinggi itulah, Sariamin Ismail aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi. Ia mengetuai perkumpulan pemuda Islam Jong Islamieten Bond bagian wanita untuk wilayah Bukittinggi dari tahun 1928 hingga 1930. Sariamin Ismail kemudian bertemu dengan kepala sekolah tempatnya mengajar, Syarifah Nawawi yang kebetulan juga merupakan Ketua Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) dan menuliskan sajak untuknya. Sariamin Ismail kemudian pindah ke Padangpanjang pada tahun 1930 ketika gedung baru MNS selesai dibangun dan mengajar di sana.

Selama di Padangpanjang, Sariamin Ismail mengetuai cabang SKIS dan menulis di majalah Soeara Kaoem Iboe Soematra dan menjadi pengasuh tetap “Mimbar Putri” di Harian Persamaan. Selain mengajar di MNS, Sariamin Ismail juga mengajar di sekolah swasta Diniyah School. Jelang akhir 1930-an, Sariamin Ismail menjadi wartawan dan penulis yang vokal di majalah Soeara Kaoem Iboe Soematra. Salah satu suara vokalnya adalah ketika ia mengutuk poligami dan menekankan pentingnya hubungan keluarga inti di Minangkabau. Sariamin juga mengkritik ketidakadilan peraturan gaji bagi pegawai wanita, terutama guru wanita di Harian Persamaan.

Sariamin Ismail tetap mengajar sembari menulis untuk menambah penghasilan harian dan untuk membiayai kegiatan organisasinya. Karena suara-suara kritisnya, dan demi mencegah kemungkinan ditangkap oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yaitu badan utama keamanan Hindia Belanda akibat tulisan-tulisannya, Sariamin Ismail menggunakan sejumlah nama samaran, salah satunya Selasih yang digunakan untuk novel pertamanya. Nama samaran lain, seperti Seleguri, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah.

Sariamin Ismail menulis untuk majalah sastra Poedjangga Baroe pada pertengahan tahun 1930-an dan menerbitkan novel pertamanya yang diterbitkan Balai Pustaka “Kalau Tak Untung” pada 1933 yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Inspirasi penulisan novel ini konon didapat Sariamin berdasarkan kejadian nyata dalam hidupnya, yaitu tunangannya yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang saling mencintai tetapi akhirnya terpisah tidak bisa bersatu. Novel ini kemudian diterbitkan ulang pada 1937 dengan judul baru, yaitu “Karena Keadaan”.

Sariamin Ismail kemudian berhenti mengajar tahun 1939 setelah dituduh aktif dalam pergerakan politik oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di Payakumbuh, Sariamin kemudian menjadi guru bantu selama dua tahun di MVS. Pada 1941, Sariamin Ismail menikah dengan pria bernama Ismail dan pindah ke Teluk Kuantan, Riau. Awalnya Sariamin hanya ingin menjadi ibu rumah tangga biasa, tetapi setelah melihat pendidikan di daerah tersebut yang tertinggal jauh dari Sumatera Barat, Sariamin merasa sebagai guru “tenaganya sangat dibutuhkan”. Pada 1942, Sariamin Ismail menjadi kepala sekolah MVS di Teluk Kuantan yang menjadi sekolah pertama di sana, bahkan Riau. Sekolah yang dikepalai Sariamin terdapat asrama untuk anak-anak murid yang berasal dari luar daerah yang lokasinya berada di samping rumah Sariamin. Sariamin pun merangkap menjadi pembimbing asrama.

Sariamin Ismail kemudian menjadi anggota parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wilayah Riau setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 selama dua tahun. Selepas itu Sariamin masih tetap aktif menulis dan mengajar di Riau hingga tahun 1968 dan membuat tiga antologi puisi dan cerita anak-anak. Tahun 1986, Sariamin Ismail menulis novel terakhirnya, “Kembali ke Pangkuan Ayah”. Sebelum wafat pada tahun 1995, Sariamin menerbitkan dua antologi puisi dan sebuah film dokumenter tentang kisah kehidupannya.

Karya-Karya Sariamin Ismail Sang Novelis Pertama Perempuan Indonesia:

  • Kalau Tak Untung (1933)
  • Pengaruh Keadaan (1937)
  • Puisi Baru (1946; antologi puisi)
  • Rangkaian Sastra (1952)
  • Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; antologi puisi)
  • Panca Juara (1981)
  • Nakhoda Lancang (1982)
  • Cerita Kak Murai, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986)
  • Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)

Google Doodle mengucapkan dalam pernyataan terakhirnya “Selamat ulang tahun, Sariamin Ismail! Terima kasih telah menginspirasi generasi baru wanita untuk menggunakan suara mereka”.