Ramadhan: Aktualisasi Keimanan dan Puasa dari Maksiat

Marhaban ya Ramadhan, selamat tiba bulan penuh kemuliaan. Satu bulan yang disediakan untuk mencharger full keimanan sesuai dengan kapasitas diri kita bahkan bisa melebihinya (dengan jalan mengupgrade diri) hingga sampai pada bentuk taqwa. Taqwa yang tak memberi spasi antara diri dan Surga kecuali dunia.

Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan


Ramadhan, bulan yang tak mungkin diacuhkan oleh orang beriman. Sulit untuk tak peduli pada sajadah dan Quran bahkan bagi kita yang awam sekalipun. Kita bisa saja abaikan ibadah di 11 bulan lainnya (dengan menyadari konsekuensinya), tapi kita tak bisa begitu saja mengabaikannya saat Ramadhan tiba karena datangnya Ramadhan adalah satu kesempatan yang Allah berikan sebagai sarana memperbaiki diri, memperbaiki hidup, dan menjadi seorang Muttaqin.

Siapa pun akhirnya bisa menjadi seorang Muttaqin melalui Ramadhan, tidak hanya yang sebelumnya berada di jalan ketaatan, akan tetapi juga bagi mereka yang di luar bulan Ramadhan sebelumnya berkubang pada kemaksiatan. Ramadhan adalah bulan perubahan. Di dalamnya terdapat ampunan dan pahala berlipat ganda.

Seorang yang beriman kepada Allah pasti akan mengejar level Muttaqin melalui ibadah di bulan Ramadhan dan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pahala melalui amal ibadah dan amal kebaikan sebab pahal yang diberikan tak sama dengan amal serupa yang dikerjakan di luar bulan Ramadhan.

Beruntunglah mereka yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan perubahan dan sangat disayangkan bagi kita yang tidak mengoptimalkan bulan ini melainkan justru tenggelam dalam kelalaian dan terlebih lagi kemaksiatan.

Kesempatan yang hanya diberikan satu bulan dari 12 bulan, dan satu malam di antara 30 malam di mana Allah turunkan momen untuk melompatkan hamba-Nya ke satu level keimanan dan memaksimalkan pahala, serta menolkan dosa yang tak mungkin diraih sekaligus meski kita beribadah dengan sangat taat di sepanjang hidup.

Surga teramat mahal dan terlampau berharga untuk diberi hanya dengan laku biasa. Tak cukup berkata “Aku percaya Tuhanku Allah”, melainkan jika benar Tuhanmu Allah bukan si B, bukan harta, dan bukan dunia, maka tak ada alasan bagimu untuk tak memenuhi seruan Tuhanmu kecuali di dalam dirimu ada sesuatu hal lain yang menjadi Tuhan kecilmu atau sesuatu penyakit dari kegelapan yang Allah murkai.

Menjadi taat bukanlah keinginan kita, tapi itu perintah-Nya, dan keinginan seorang Mukmin adalah menjalankan perintah-Nya, dan mencintai apa yang menjadi kehendak-Nya. Oleh sebab kita dicipta dengan adanya syahwat, bukan seorang malaikat, maka Allah sangat mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki manusia dan Allah menggantikan semua itu dengan Surga, dan jalan yang halal di dunia.

Dunia ibarat puasa bagi seorang Mukmin, dan ia akan berbuka di saat ajal menjemputnya, karena Surga tempatnya. Syahwat pada hal haram yang ditahannya adalah puasa bagi mereka, dan kehalalan adalah waktu berbuka, dan betapa nikmatnya itu dirasakan, dan akan lebih nikmat lagi bila hanya diambil sedikit dan mengenyangkannya dengan syukur.

Senikmat apa pun hal yang dianggap nikmat di dunia, tidak akan nikmat lagi dirasakan jika sudah berlebihan dalam merasakan. Tantangan di dalam keimanan bukan di saat kita berada dalam keimanan, tapi saat datang ujian yang ingin merampas keimanan itu dari kita. Nikmat dari keimanan itu akan kita rasakan meski keimanan itu sendiri membuahkan nikmat tersendiri yang bisa kita rasakan sendiri dalam kehidupan kita dengan membandingkannya: nikmat mana antara hidup di atas jalan iman atau berada di atas jalan ingkar.

Namun, ada keimanan yang tidak membuahkan nikmat. Keimanan yang bagaimana? Jika keimanan hanya sebatas dalam domain akal dan tidak turun ke qalbu dan larut dalam jiwa. Keimanan itu akan hanya sebatas dogma dan teori untuk mengisi lisannya, sementara tangan dan kakinya berada di atas genangan keingkaran yang senantiasa memercikan perselisihan dengan mereka yang berjalan lurus di atas jalan keimanan. Mereka yang mengaku beriman, tapi justru ingin merubuhkan syariat. Mereka yang mengaku Islam, tapi sangat alergi dengan nilai-nilai dakwah, tapi justru sangat bangganya menonjolkan diri dengan nilai-nilai selain Islam.

Siapa pun kita, munafik atau kafir sekalipun, pasti ingin selamat dari bahaya dan ancaman di dunia ini, terlebih bagi yang percaya akan adanya neraka. Neraka tak mungkin menjadi pilihan kecuali mereka yang jahilnya berkata “Lebih baik masuk neraka daripada di Surga bersama si fulan bin fulan” (ini adalah ucapan fatal yang hampir serupa dengan kehendak Iblis yang membuatnya menjadi ingkar). Adanya neraka, membuat kita ingin masuk Surga. Pengetahuan akan Surga seharusnya membuat kita taat pada-Nya, tapi ternyata realitanya tidak. Mengapa? Karena tidak semua dari kita mampu “berpuasa”. Berpuasa dari hal yang diharamkan, dan dari hal-hal yang dilarang.

Ramadhan adalah momen melatih kemampuan berpuasa kita, bukan sekedar menjadikan momen untuk menahan lapar dan dahaga, dan hanya sekedar berharap: moga-moga Allah menerima, tanpa usaha “melobi” Allah untuk menerima puasa melalui sunnah-sunnah yang dikerjakan, tidak hanya sekedar yang wajib saja.

Berlelah-lelahlah di bulan Ramadhan dengan ibadah, maka akan ringan langkah ibadahmu di 11 bulan lainnya. Ikat dengan erat nafsu di bulan ini, niscaya nafsumu tak punya daya kendali pada dirimu di 11 bulan lainnya. Jika Setan dibelenggu di bulan ini dalam arti mereka tak punya kendali sepenuhnya, maka buatlah mereka tetap tak berdaya di 11 bulan lainnya.

Kekuatan itu tidak datang begitu saja melainkan dari latihan terus menerus tanpa henti. Keimanan seorang Mukmin dan keislaman seorang Muslim tidak akan pernah sepi dari ujian kesabaran, cobaan, gangguan, karena dari semua itu mereka akan kuat untuk menghadapi hegemoni godaan dunia dan setan-setan. Puasa adalah salah satu sarana mendidik jiwa dan pengendalian diri sehingga saat berpuasa adalah saat-saat keimanan benar-benar sedang berada pada level yang tinggi.

Kita mungkin bukan hamba yang baik, masih berlumuran dosa-dosa, punya segudang salah, bahkan merasa malu dengan manusia lainnya yang telah memilih jalan yang lebih terang dari kita. Jalan hijrah mengikuti sunnah menuju jannah, sementara kita masih berasyik mansyuk dengan debu-debu dunia, yang meski kita tahu bahwa itu akan mengotori tubuh kita dari kepala hingga kaki, tapi toh kita tetap rela melakukannya karena keadaan masih membuat kita seakan tertancap di atas tanahnya padahal semua itu adalah ilusi yang dihias setan agar kita tidak berhijrah kepada kondisi yang lebih pas (ideal) dan lebih baik untuk seorang Muslim. Atau karena adnaya kekurangan dan penyakit di dalam jiwa kita yang menghalangi kita untuk berpindah dari jalan penuh guncangan menuju jalan yang mendapatkan perlindungan dan pertolongan Allah. Jalan di mana semua orang yang memiliki keimanan meski hanya sedikit merindukan itu. Namun, tak sedikit seseorang ang memang tak bisa melepaskan begitu saja kemaksiatan atau hal-hal yang diharamkan karena kondisi yang mengurung seseorang itu di dalamnya sehingga ia perlu motivasi, dukungan, dan jalan untuk keluar dari keburukan menuju jalan kebaikan. Maka janganlah alergi dengan saudara-saudara kita yang masih berada di jalan berlumpur dosa, ajak dan bawalah mereka untuk masuk ke dalam rumah keselamatan: Al Islam.

Puasa bagi Mukmin bukanlah sekedar puasa sehingga menjadikan mereka sebagai Muttaqin karena jika hanya sekedar puasa, orang munafik, fasik, dan kafir pun bisa melakukannya. Bahkan seorang musyrik pun bisa melakukannya lebih baik dengan hanya mengandalkan janji bahwa ia akan mendapatkan kewingitan dari puasanya. Lalu jika yang menjanjikan balasan puasa itu adalah Allah, Tuhan yang menciptakan kita, apakah tak membuat kita tergerak, tergugah, dan bersemangat menjalankannya?

Puasa bukanlah menahan lapar dan dahaga pada siang hari lalu malamnya berbuka dan mengenyangkan perut sekenyang-kenyangnya lalu tidur dan bangun saat sahur. Puasa di siang hari adalah latihan mengosongkan perut dari hal-hal yang diharamkan termasuk makanan dan minuman karena diperintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum. Puasa adalah latihan menahan diri dari pandangan dan pendengaran yang merusak kesucian qalbu, termasuk perbuatan-perbuatan tidak baik yang dapat mengotorinya. Puasa adalah belajar menjadi Mukmin yang seutuhnya. Bisakah kita? Rasanya berat jika hanya dibayangkan, tapi pertanyaan dasarnya: maukah kita masuk ke Surga?

Seorang yang mencintai Allah tentu merasa tidak berat untuk memenuhi apa yang menjadi perintah-Nya, namun bagi kita yang awam, rasanya berat karena harus meninggalkan sebagian besar “manisnya” maksiat. Seorang pemabuk akan berat meninggalkan miras untuk taat kepada Allah. Seorang pezina akan berat meninggalkan nikmatnya berzina untuk menjadi taat kepada Allah. Masih adanya keinginan untuk bermaksiat adalah penghalang seseorang untuk taat kepada Allah, selain daripada adanya penyaki-penyakit hati yang masih menjangkiti hati seseorang sehingga membuatnya sulit untuk menapak di atas jalan sunnah. Melakoni sunnah artinya harus membuang sebagian besar ego diri kita dan mulai menyesuaikan diri dengan framenya. Hal yang berlebihan harus dipotong, dan hal yang kurang harus diisi. Selama masih ada ego untuk membenarkan diri dalam melakukan perbuatan tertentu yang dilarang agama, selama itu kita belum menjadi seorang yang berserah diri pada apa yang dikehendaki Allah, selama itu tidak akan ada ketenangan dan senantiasa hidup dalam bergumul keluh kesah.

Dunia tidak menjanjikan ketenangan hidup, melainkan hanya kesenangan hidup yang nisbi tanpa batas hingga sampai pada puncaknya, yaitu penyesalan. Hanya di sisi Allah saja, ketenangan itu ada, dan Allah memberikan itu bagi siapa pun yang mau mendekatkan diri pada-Nya, dan melakukan apa yang menjadi perintah-Nya. Puasa adalah jalan kita menuju Surga dengan menjadi Muttaqin. Jangan siakan kesempatan yang datang hingga tak menyesal kelak saat kesempatan itu hilang. Kita tidak bisa menjamin sisa waktu kita, Ramadhan adalah satu-satunya kesempatan kita yang datang untuk membawa kita melompat naik menjadi manusia yang lebih baik, yaitu manusia yang dijamin Surga sebagai balasannya.

Wallahu A'lam Bis-Shawab