Nasib: Antara Kelemahan dan Takdir

Masalah itu tak terletak pada nasib, tapi pada diri kita. Nasib hanyalah jalan takdir yang sudah memberikan kita baik dan buruk dalam hidup. Ini bukan tentang nasib apabila ia mendera kita dalam susah, melainkan ini tentang diri kita sendiri dalam nasib kita. Perubahan hanya milik mereka yang menginginkannya dengan langkah nyata. Dan perubahan tak bisa dilakukan seorang diri, perubahan perlu dukungan orang tertentu demi merawat mental yang mungkin ‘babak-belur’ dihajar pikiran yang datang dari unconcious mind yang menstimulasi perasaan-perasaan buruk yang berkecemauk, dan hanya redam bila ia tak memikirkan hal tersebut. Memikirkan apa yang menjadi kelemahannya.

nasib-kelemahan-dan-takdir
ilustrasi (pexels.com)


Setiap penyakit ada obatnya, setiap masalah ada solusinya. Namun, tidak semua masalah adalah masalah nyata. Bila terkait dengan masalah jiwa, ia hanya bisa disembuhkan dengan jiwa. Pikiran oleh pikiran. Hati oleh hati.

Keinginan seperti anak panah yang terhujam, semakin besar keinginan itu semakin dalam mata panahnya menusuk. Bila keinginan itu hanya sekedar harapan seperti seseorang yang meninggalkan sesuatu padahal ia menginginkannya, serupa anak panah yang patah, namun mata panahnya masih tertancap dalam, meninggalkan luka.

Qalbu yang terluka, harus diobati, sebaik-baik obat yang menyembuhkan dan membersihkan hati adalah Dzikrullah (Al-Qur’an). Jiwa harus dilatih. Diisi dengan cahaya-cahaya kebaikan, sebagai teman yang menemaninya dalam setiap waktu. Maka, bila sudah demikian, seseorang bisa siap untuk dilekuk oleh kondisi baru tanpa ada penghalang dari dalam dirinya sendiri untuk berubah.

Tak semua kelemahan itu melemahkan, dan buruk buat kita sampai kelemahan itu menghalangi kita dari kebaikan dan karunia-Nya. Apabila sudah demikian, maka wajib bagi kita untuk mengatasinya, karena apabila dipelihara maka besar mudaratnya untuk diri kita. Namun, apabila kelemahan itu menghalangi kita dari keburukan dan kemaksiatan, maka tetaplah menjaganya, hanya pangkaslah bila terlalu berlebihan sehingga membuat kita terhalang dari sesuatu yang baik.

Tuhan kita, Allah apabila Dia ingin memberi karunia besar, diberinya bukan pujian, atau jalan kemudahan, justru sebaliknya. Ditanamnya kelemahan pada diri kita hingga apabila kelemahan itu bisa kita kendalikan dan kita rawat di jalan kebaikan, Allah akan memberi kita “hadiah”, karunia yang dijanjikan.

Dalam hal ibadah, yang justru mendapatkan apresiasi-Nya adalah mereka yang bersusah payah dalam ibadahnya, bukan yang mudah saat melakukannya hingga lalai hatinya. Apabila kita merasa malas untuk beribadah, disitulah perhatian Allah akan tertuju pada kita apabila kita di kala itu tetap bangkit untuk menunaikan shalat. Dia menyukai perjuangan hamba-Nya untuk mendekat pada-Nya, bukan seorang hamba yang otomatis terpanggil di kala tiba waktu untuk mengingat-Nya.

Pada dasarnya, kita tidak pernah dikalahkan oleh nasib meski seburuk apapun nasib itu, tapi selalu yang dapat mengalahkan kita adalah diri kita sendiri sehingga nasib mengalahkan kita, membuat kita melewati berbagai kesempatan ‘emas’ yang pernah hadir dalam hidup kita hanya karena kita tak ingin mengambilnya sebab adanya kelemahan-kelemahan diri kita. Kita terhasut oleh pikiran sendiri, terhasut oleh jiwa yang tak mau berubah, atau adanya kegamangan dalam perubahan. Menunggu dan hanya menunggu saja.

Jika kita anggap kelemahan kitalah yang menjadi sebab keruntuhan hidup kita, dan membuatnya terabaikan dari kebaikan hidup. Sungguh keliru. Sudah berapa banyak, Tuhan hadirkan apa yang engkau minta saat bermunajat, namun engkau tidak melihat apa yang Tuhan berikan itu sebagai jawaban, melainkan pergi meninggalkan, surut dalam langkah, hanya karena takut menjalani apa yang seharusnya engkau jalani jika benar engkau menginginkannya. Keinginan jangan hanya sebatas hadir di hati tanpa bukti. Buktikanlah tak sekedar kata tanpa langkah nyata.

Jadilah diri sendiri, akuilah, terimalah semua kekurangannya, sehingga kita bisa nyaman dengan semua itu, dan mulai bisa memperbaikinya jika diperlukan. Namun, jika kita menolaknya, berusaha menyingkirkannya, atau malah tertelan, kita akan selalu terjatuh di lubang yang sama, tak pernah bisa kemana-mana. Kelemahan itulah tapal batas kita, antara diri kita dan sesuatu yang lebih besar dari diri kita di luar sana. Bila kita bisa melewatinya, dan tetap menjalaninya, kita akan tumbuh besar sebagai pemenang bukan pecundang.

Allah memberi kita kelemahan, bukan untuk melemahkan, tapi Allah ingin memberi karunia melalui kelemahan itu jika kita bisa mengubahnya menjadi kekuatan. Siapa yang mengambil karunianya, Allah akan menguatkannya dengan kelemahan itu. Siapa yang mengabaikannya, Allah buat kelemahan itu sebagai kelemahan terbesarnya hingga jatuh dalam beragam nasib buruk. Maka, siapa yang tidak mengambil dari dirinya sebagai pelajaran, sungguh ia adalah manusia yang malang. Manusia yang dikalahkan oleh kelemahan, yang seharusnya bisa dikalahkannya dengan kelebihan yang Allah berikan di sisi lain. Tak takutkah, jika kelak Allah akan bertanya:

Dimanakah kelebihan yang Aku berikan padamu wahai fulan? Untuk apa engkau gunakan jika kelebihan itu tak dapat mengatasi kekurangan yang Aku berikan sebagai ujian ? engkau mempercayai-Ku sebagai Tuhan yang Maha Besar, tapi engkau tak mempercayai dirimu sendiri sebagai makhluk-Ku mampu melakukan sesuatu yang besar, dan mengatasi masalah-masalahmu hanya karena kelemahanmu...

Sungguh, kelebihan yang tidak memberi manfaat akan menjadi sebab siksa, bukan kekurangan itulah yang menyebabkan kita bakal ditanya, tapi karena kelebihan yang ada pada kita tidak kita pakai untuk menyeimbangkan diri dan mengatasinya agar tak menjadi sebab dari segala kemudaratan hidup. Kekurangan dan kelemahan adalah ujian dan tantangan, bukan sebaliknya, aset dari kemalangan.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari diri kita dan segera berbenah sebelum sang waktu menyudahi semuanya, sebab penyesalan besarlah yang akan kita rasakan bila sudah tiba di barzah. Berubahlah menjadi diri sendiri yang terbaik dari diri kita, bukan menjadi yang terbaik dari orang lain. Jadikan orang lain sebagai cermin untuk diri kita dalam hal kebaikannya atau keburukannya, bukan sebagai standar ukuran dari kebaikan atau keburukan itu sendiri sehingga kita menirunya atau menjauhinya. Kita punya versi kebaikan kita sebagaimana kita memiliki versi buruk dari diri kita.

Nasib memang ditentukan oleh takdir, tapi nasib akan selalu punya jalannya untuk berubah baik atau buruk tergantung diri kita. Takdir selalu bisa dirubah, kecuali pada takdir yang bersifat tetap seperti datangnya ajal yang tak bisa kita undur. Takdir tak bisa kita salahkan, karena seperti itulah jalannya. Bila nasib kita buruk, itu murni kesalahan kita, maka sebaik-baiknya kesalahan adalah yang memberi kita pelajaran untuk memperbaikinya bukan semata untuk disesali sepanjang masa.

Wallahu A’lamu Bish-Shawab