Dunia

Di atas dunia tidak ada kehidupan yang benar-benar sempurna. Namun, kita dapat menyempurnakan semua kekurangan yang ada dengan rasa bersyukur kepada-Nya. Sebab ini Dunia bukan Surga, Dunia diciptakan sebagai tempat yang tidak mampu menghadirkan keabadian bagi makhluk yang mendiaminya.

Di sini, apapun datang dan pergi silih berganti, diri kita pun suatu saat akan pergi. Di sini, adalah tempat kealpaan. Lupa adalah sesuatu yang wajar, bahkan kita dibuat lupa dengan siapa Tuhan kita yang hakiki saat terlontar masuk ke alam dunia dalam bentuk selembar ruh ke dalam janin kandungan dari seorang wanita yang kelak setelah janin itu keluar menjadi bayi, kita menyebut wanita itu dengan sebutan “Ibu, Umi, Mama”.

Tak ada sepotong ingatan pun akan Dia, sampai kita cukup berakal untuk mengenali-Nya jika kita beruntung masuk ke dalam keluarga yang kenal dengan-Nya, minimal tahu siapa nama-Nya dan bagaimana cara untuk menyembah-Nya, sesungguhnya itu adalah karena rahmat dari-Nya. Seandainya tidak, bayangkan, kita tidak akan kenal dengan-Nya, bahkan mungkin akan membenci agama-Nya. Atau.. Dia memberi kita hidayah yang dengan hidayah-Nya itu, kita dapat mengenal-Nya.

Dunia adalah penipu ulung, yang menipu kita semua, yang memberi rasa ketertarikan pada sesuatu yang rapuh, namun selalu kita kejar dan kita agungkan. Dunia adalah kompetisi untuk para pencarinya, namun Dunia akan rebah bagi sesiapapun yang memiliki hati dimana tak ada dunia di dalamnya, hanya ada “Dzikrullah” yang selalu menyebut “Allah” bersamaan dengan hela nafas dan detak jantung.

Dunia adalah tempat dimana tubuh fisik kita berada yang kian waktu akan melapuk dan menua, sebelum akhirnya kita akan pergi keluar darinya. Dunia ini indah bagi yang memandanginya dengan kekaguman, dipenuhi dengan angan untuk menikmatinya, meski tahu bahwa kenikmatan yang dirasakan itu hanyalah sedikit sekali, namun orang terus menerus menginginkannya.

Orang yang gamang dengan dunia akan berdiri di antara “ya” dan “tidak” saat datang kesempatan baginya untuk bermaksiat, meski hanya maksiat kecil, Setan terus membisikinya untuk meneruskan niat kecilnya yang menginginkan kenikmatan dan kepuasan tertentu dari dunia, sementara hati yang ada iman di dalamnya terus membunyikan tanda warning yang membuat jantungnya berdetak-detak lebih kencang.

Di sinilah arti ibadahnya dipertaruhkan, apakah ia adalah seorang abid yang ikhlas, atau seorang hamba sahaya yang beribadah hanya takut pada Neraka dan menginginkan Surga, atau beribadah hanya karena menginginkan sesuatu yang ada di atas dunia.

Jika ia memilih dunia, sesungguhnya dunia itu dekat, kenikmatan itu ada di hadapannya, sementara Akherat itu jauh, dan bukankah ia masih punya waktu dimana setelahnya ia akan bertaubat karena Allah Maha Pengampun?

Bisikan itu akan berusaha memperdayainya melalaikannya dari Allah, padahal di saat ia sedang gamang Allah sedang melihatnya. Apakah kita tidak malu kepada-Nya? Secara terang-terangan bernegoisasi dengan godaan Setan, dan berharap Allah akan mengampuninya.. padahal kita selalu diajarkan untuk mengucapkan “A’uudzubillaahi minasy-Syaithoonir-Rojiim”.. dan kita selalu dipesankan “janganlah mengikuti langkah-langkah setan”, karena sekali mengikuti langkahnya kita akan masuk ke jalannya, saat sudah masuk ke jalannya, akan sulit menghindarinya, karena jalan setan itu penuh dengan perangkap, meski lisan itu basah dengan dzikir, namun hati itu telah terperdaya yang membuatnya lalai dan sulit menghadirkan “Allah” di hatinya, akan sulit baginya “Khusyu’” karena tarian-tarian dunia mengelilinya.

Maka meski pikiranmu “mengingat-Nya”, lisanmu menyebut “nama-Nya”, tubuhmu sedang berdiri menghadap “rumah-Nya”, tapi hatimu sedang tidak bersama dengan-Nya, melainkan bersama dengan angan tentang dunia.


Disinilah kita akhirnya akan terbaring sunyi, tanpa dunia, dunia telah pergi meninggalkan kita, tersisa menunggu hari dimana seluruh amal kita dihisab, diperhitungkan di hadapan Allah Azza Wa Jalla.